oleh: Dr. Susy Ong
Bakumatsu –
sentimen ketidakpuasan rakyat jelata sebagai energi pendorong revolusi sosial,
yang kemudian di-sabotase oleh kaum konservatif --- restorasi = kembali ke
jaman kuno
Tahun 1853, Kedatangan
Mattew Perry, utusan Presiden AS Millard Fillmore, komandan armada angkatan
laut AS untuk wilayah India Timur (the U.S. Navy's East India Squadron) ke
Uraga (di teluk Edo), dengan membawa draf Perjanjian Persahabatan Jepang – AS
--- mengapa
disebut perjanjian PERSAHABATAN? --- perbandingan dengan Nanking Treaty
Tujuan
delegasi Perry: menjadikan Jepang sebagai tempat singgah menuju Cina; tidak ada
niat dan kemampuan ekonomi & militer untuk menaklukkan Jepang
Tokugawa
bakufu panik, menyatakan akan memberi jawaban atas permintaan penandatanganan
Perjanjian dengan AS pada tahun berikutnya
– perubahan
struktur politik dari pola hirarkis absolut (dengan shogun sebagai pemimpin dan
para daimyo sebagai bawahan) menjadi lebih egaliter, para daimyo menjadi
penasihat, usul dan dukungan mereka diperlukan oleh shogun dalam mempertahankan
kekuasaan
1853-1854:
bakufu mengumpulkan daimyo (penguasa lokal) untuk merundingkan sikap yang
sebaiknya diambil oleh bakufu terhadap permintaan AS. Setelah mempertimbangkan
kekalahan Cina terhadap Inggris dalam perang candu dan isi perjanjian Nanking yang jauh lebih merugikan Cina, maka bakufu
memutuskan untuk menerima pasal-pasal dalam perjanjian yang disodorkan oleh
Perry.
1854, Perry
kembali ke Edo. Teks perjanjian yang
disodorkan oleh Perry adalah dalam bahasa Inggris, Belanda dan Cina klasik.
Dari versi Cina klasik, bakufu membuat versi bahasa Jepang, sehingga perjanjian
yang ditandatangani, adalah dalam 4 bahasa.
Setelah
penandatanganan, bakufu membuat laporan kepada pihak istana di Kyoto.
Menindaklanjuti
pasal 11 dari perjanjian perdamaian dan persahabatan Jepang-AS, pada Juli 1856,
Townsend Harris, mantan konjen AS di kota
Ningpo (pantai timur Cina), tiba di Jepang untuk menjabat sebagai konsul
pertama AS untuk Jepang. Harris memaksakan pihak bakufu untuk menandatangani
perjanjian perdagangan, agar AS menjadi satu-satunya negara industri Barat yang
memperoleh hak dagang dengan Jepang.
1858,
perjanjian persahabatan dan perdagangan Jepang-AS (The Treaty of Amity and
Commerce Japan – US)
ditandatangani di atas kapal AS, Powhatan, di teluk Edo.
Rochu
(perdana menteri) bakufu, Hotta Masayoshi, berusaha mendekati pihak istana dan
memperoleh Chokkyo (izin kaisar) terhadap surat
perjanjian tersebut, untuk meredakan kelompok yang menentang perjanjian
tersebut. --- di dalam tubuh bakufu maupun berbagai wilayah di Jepang, muncul
kelompok yang mendukung perubahan kebijakan luar negeri dan kelompok yang
menentang hubungan dengan luar negeri (sebagian karena ketidakpuasan terhadap
rezim Tokugawa)
--- c.f. kelompok
yang menyatakan diri pro demokrasi pada tahun 1998, sebetulnya adalah
orang-orang yang tidak suka pada (karena dirugikan oleh) rezim Suharto.
Bakufu
kemudian berturut-turut menandatangani perjanjian perdagangan yang sama dengan
Perancis, Inggris, Rusia dan Belanda.
Kaisar yang
bertahta waktu itu, kaisar Komei, merupakan figure anti asing. Dengan dukungan
para kroni istana dan kelompok yang anti pemerintah bakufu, kaisar Komei
menolak memberi Chokkyo kepada bakufu. Komei menjadi simbol (kartu as) bagi
kelompok anti bakufu, dengan slogan Sonno Joi (menjunjung kaisar dan mengusir
orang asing / barbar) – anti bakufu karena bakufu mengizinkan orang asing masuk
ke Jepang
--- Bakufu
(pemerintah yang berkuasa) pro perubahan kebijakan perdagangan luar negeri,
kekuatan anti pemerintah anti perubahan
--- Restorasi
Meiji pada tahun 1868: westernisasi, kekuatan anti asing harus dibasmi ---
kaisar Komei yang konon bertubuh sehat, meninggal pada tahun 1866 (desember)
dalam usia 36 tahun, menurut pengumuman resmi, penyebab kematian adalah cacar.
Sejumlah peneliti sejarah di Jepang menduga ia diracun dan dibunuh atas
perintah Iwakura Tomomi, bangsawan istana yang pro westernisasi, yang di
kemudian hari menjadi pejabat tinggi di pemerintahan Meiji. (pemimpin Misi
Iwakura)
Tersiarnya
berita penolakan kaisar memberi Chokkyo kepada bakufu menjadi pemicu gerakan
anti pemerintah dengan slogan Sonno Joi. Pemimpin eksekutif bakufu, Ii Naosuke,
memerintahkan untuk mengeksekusi dan memenjarakan sejumlah tokoh anti
pemerintah (peristiwa ansei no taigoku, 1858-1859).
Akibat
peristiwa ini, bakufu kehilangan sejumlah pejabat yang kompeten, serta memicu
anjloknya wibawa pemerintah. Para tokoh anti
pemerintah yang di-eksekusi, justru dipandang sebagai martir yang terus memberi
inspirasi kepada pengikut gerakan anti pemerintah di tahun 1860an.
1860, Ii
Naosuke dibunuh oleh kelompok anti pemerintah, di pusat kota
Edo (di luar pintu gerbang sakurada – sakurada
mon-gai no hen) --- perdana menteri dibunuh di ibukota, membuktikan pemerintah
tidak berwibawa dan tidak kompeten
Akibat perjanjian
perdagangan dengan 5 negara Barat, terutama dengan Inggris (negara industri
paling maju di dunia saat itu), impor produk industri semakin meningkat,
menyebabkan inflasi dan bangkrutnya kerajinan tangan rakyat. Kelompok yang
tidak puas pada status quo, menggantungkan harapan pada tokoh kunci penentu
legitimasi shogun, yaitu Kaisar Komei.
1861-1867 – maraknya
gerakan anti pemerintah dgn slogan Sonno Joi; di wilayah di sekitar Kyoto, para pemimpin
gerakan anti pemerintah menggalang dukungan ribuan petani, dengan janji bahwa
jika rezim bakufu berhasil ditumbangkan, maka akan diberi potongan pajak
sebesar 50%.
Kebijakan
bakufu (atas saran dan masukan dari sejumlah penguasa lokal, seperti Satsuma
dan Choshu):
1860: membangun
aliansi dengan istana (mengatur pernikahan shogun dengan adik perempuan kaisar
Komei), bakufu berjanji dengan aliansi tersebut, shogun akan menggantikan
kaisar sebagai pemimpin gerakan mengusir orang asing (Joi)
1862, putri
Kazunomiya (adik kaisar Komei) tiba di Edo dan
melangsungkan pernikahan dengan shogun Iemochi (shogun ke-14). Dengan
pernikahan tersebut, kaisar Komei menunjukkan dukungan kepada shogun, sehingga
kelompok anti bakufu (terutama kelompok dari Choshu) kehilangan legitimasi – 1864,
bakufu berhasil memperoleh Chokkyo dari kaisar Komei untuk menghukum Choshu,
dan mengerahkan pasukan untuk menyerang Choshu – penguasa Choshu berjanji akan
taat pada bakufu.
September
1862, terjadi bentrokan antara iring-iringan pejabat Satsuma dengan orang
Inggris di desa Namamugi (di luar kota Yokohama), menyebabkan 1
orang meninggal dan 2 orang luka di pihak Inggris. Agustus 1863, armada Inggris
menyerang teritori Satsuma. Pihak Satsuma kalah telak, dan menerima usul damai
dari pihak Inggris. Ini menjadi kesempatan bagi Inggris untuk mendekati dan
menjalin aliansi dengan Satsuma.
1863, shogun
Iemochi berjanji memimpin gerakan Joi, namun tidak melakukan tindakan militer.
Justru para tokoh Choshu yang anti asing mengambil tindakan militer dengan
menyerang kapal dagang AS, Perancis dan Belanda yang sedang berlayar di selat
Kanmon (selat yang memisahkan pulau Honshu dengan pulau Kyushu).
Ini memicu bentrokan bersenjata dengan pasukan gabungan
AS-Inggris-Perancis-Belanda. Pihak Choshu kalah telak, dan menyadari bahwa
gerakan Joi adalah sia-sia; lebih baik membuka diri dan belajar dari Barat.
1865, kelompok anti status quo di bawah pimpinan Takasugi Shinsaku berhasil
dalam kudeta perebutan kekuatan, dan mulai membangun militer modern. Shogun
Iemochi memutuskan untuk menekan Choshu, dan berhasil memperoleh chokkyo dari
kaisar Komei. Namun, pihak Satsuma menolak ikut serta dalam kampanye militer
terhadap Choshu.
Kelompok
reformis di Satsuma dan Choshu mulai mencapai kesepakatan, lebih baik mengubah
status quo, menjatuhkan rezim Tokugawa dan mendirikan pemerintah baru yang
lebih pro aktif membuka diri / negeri Jepang terhadap dunia Barat. --- slogan
berubah dari Sonno Joi (menjunjung kaisar dan mengusir orang asing / barbar)
menjadi Sonno Kaikoku (menjunjung kaisar dan membuka negeri Jepang) – Desember 1866,
kaisar Komei meninggal (misterius) – Sonno secara harafiah berarti menjunjung
tinggi kaisar, tetapi dalam kenyataan adalah pemegang kekuasaan menjadikan
kaisar sebagai simbol / boneka untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan
1866, shogun
Iemochi meninggal di Osaka;
penggantinya adalah Tokugawa Yoshinobu (shogun ke-15 sekaligus shogun terakhir).
Menyadari bahwa bakufu sudah kehilangan legitimasi dan dukungan dari penguasa
lokal, Yoshinobu memutuskan untuk mengembalikan mandat kepada kaisar, dengan
perhitungan bahwa kaisar dan lembaga di bawahnya tidak punya kemampuan untuk
memimpin Jepang, sehingga dalam waktu singkat akan kembali menyerahkan mandat
kekuasaan kepada keluarga Tokugawa. Namun, kelompok istana sudah dikuasai oleh
kekuatan aliansi Satsuma dan Choshu serta bangsawan yang anti bakufu. Dengan
mudah mereka mendapatkan chokkyo untuk menyatakan perang terhadap Tokugawa.
1868: perang
boshin, antara kelompok pro tokugawa dan kelompok anti tokugawa
Tujuan
kelompok anti tokugawa: merebut kekuasaan secara mutlak dari tokugawa, untuk
menjadi pemimpin negara Jepang.
Machiavellism
dalam drama perebutan kekuasaan: restorasi Meiji
Tulisan ini sungguh membantu saya dalam menambah pengetahuan dan menulis makalah. maaf sebelumnya kalau boleh tahu Dr. Susy Ong ini siapa. agar dalam tulisan saya bisa menuliskan nama ibu. terimakasih.
BalasHapusBeliau dosen di universitas Indonesia, saya suka baca karya karya beliau dan penyampaian nya mudah untuk dimengerti.
BalasHapus