Jumat, 18 Mei 2012

Kebijakan Budaya Jepang di era 1930an


Dampaknya pada pembentukan persepsi ‘budaya Jepang’ di Indonesia

oleh: Dr. Susy Ong

kajianjepang@gmail.com

Majalah ‘Poedjangga Baroe’

        Terbit Juli 1933

        Tujuan: diskusi untuk mencari bentuk budaya ‘Indonesia’ (Indonesia merdeka di masa yang akan datang)

        Indonesia Vs pra Indonesia

        Mencari referensi dari dunia luar (Eropa (Jerman – Decline of the West, karya Oswald Spengler – pemicu debat bangkitnya ‘budaya Timur’ ), India (Tagore), Jepang, Cina, Filipina)

        Kemiripan dengan Charter Oath (五箇条のご誓文;ごかじょうのごせいもん)?

 

Charter Oath, 1868

         (1) “Deliberative assemblies shall be established on an extensive scale, and all governmental matters shall be determined by public discussion.”

         (2) “All classes, high and low, shall unite to carry out vigorously the plan of government.”

         (3) “All classes shall be permitted to fulfill their just aspirations so that there will be no discontent.”

         (4) “Evil customs of the past shall be discontinued, and new customs shall be based on the just laws of nature.”

         (5) “Knowledge shall be sought throughout the world in order to promote the welfare of the empire.”

artikel tentang ‘budaya’ Jepang di Poedjangga Baroe

       Bushido sebagai Dasar Pendidikan Bangsa (edisi Juli dan Agustus 1935)

       Kodo: Tjita-tjita Djepoen tentang Soesoenan Masjarakat (Sept.1935)

       Keterangan tentang Arti ‘Sentimentaliteit’ dalam Kesoesteraan Nippon (Des. 1935)

       Pergerakan Keboedajaan Baroe di Nippon (Juli 1938)

 

Pemahaman tentang ‘bushido’

       Semangat Jepang hasil penyerapan semua peradaban dunia – Konfusianisme, ajaran Budha, ajaran Kristen

       Sumber: The Essence of Bushido, karya Soeshima Yasoroku

‘kodo’(Sept. 1935)

       Bansai ikka (bansei ikke)

       Kontroversi tenno kikan setsu (Minobe Tatsukichi)

       Showa Ishin – anti marxisme, anti kapitalisme, anti demokrasi ala Barat

       ‘The Kodo Principle and Present Economic Problems’ oleh Chikao Fujisawa, dalam ‘Cultural Nippon’ edisi Juni 1934

 

 Arti ‘Sentimentaliteit’ dalam Kesoesteraan Nippon (des. 1935)

        ‘Literatuur Barat ialah literatuur kemanoesiaan, literatuur Nippon dan barangkali seloeroeh doenia Timur dalam oemoemnja pertama mementingkan literatuur filsafat dan agama. Boekankah hal ini boleh mendjadi tauladan bagi ‘Poedjangga Baroe’ untuk mengobah dan membaharoei sifat kesoesasteraan kita…?’

        ‘Definition of the Sentimentality in Japanese Classics’, oleh Saisho Fumiko, dalam ‘Cultural Nippon’ edisi Oktober 1935

 

 

pergerakan kebudayaan baru di Nippon (Juli 1938)

          ‘Semendjak Djepang mengoendoerkan diri dari Volkenbond, pengandjoer kebangsaan nampak benar beroesaha membangoenkan keboedajaan baroe. Perkoempoelan keboedajaan jang telah ada semoea diatoer dan diperkoeat; …ada djoega madjallah keboedajaan jang disiarkan ke seloeroeh doenia, ditoelis dengan setjara ilmoe pengetahoean, dengan maksoed soepaja orang diseloeroeh doenia tahoe, bahwa Djepang patoet djoega toeroet memperkaja keboedajaan doenia. Perkataan Japan diganti Nippon. … individualisme…kapitalisme…Marxisme…demokrasi yang berlebih-lebihan…sekalian itoe bertentangan dengan asas ho-djin (persatoean tanah dan orang) dan sai-sei-ittji (persatoean etik dan politik) yang mendjadi alas hidoep ra’jat, masjarakat dan pemerintah Jepang

          Kokoesai Boenka Shinko Kai (perkumpulan oentoek perhoeboengan keboedajaan internasional) dan Nippon Boenka Renmei (perserikatan keboedajaan Djepang)…membentuk keboedajaan Djepang disesoeaikan dengan asas-asas ho-djin

          ‘A New Trend in the Contemporary Cultural Movement of Japan’ dalam ‘Cultural Nippon’ edisi Maret 1938 (vol. VI no. 1)

Kebijakan budaya di Jepang di era 1930an

         Awal 1930an: resesi, gerakan sosialisme, invasi militer Jepang ke Manchuria memicu bentrok kepentingan dengan negara-negara Eropa dan AS, keluarnya Jepang dari keanggotaan PBB

         Dirasakan perlu kebijakan untuk ‘membangun budaya Jepang’ sebagai penangkis ideologi sosialisme, sekaligus menarik simpatik dunia Barat

         1934, KBS (Kokusai Bunka Shinkokai), atas inisiatif mantan wakil Jepang di Liga Bangsa-bangsa, dukungan dana dari kemenlu.

         1933, Nippon Bunka Renmei (Nippon Cultural Federation),atas inisiatif Matsumoto Manabu, mantan kepala biro kepolisian pada kemendag; dukungan dana dari dunia usaha.

 

Makna strategis kebijakan budaya nasional

       Membangun kesadaran nasional dan sentimen nasionalisme – kedekatan pengambil kebijakan budaya Jepang dengan penggagas kebudayaan Indonesia dalam ‘Poedjangga Baroe’

       Penciptaan ‘budaya nasional’ sebagai strategi menciptakan kekuatan kohesif ke dalam (domestik) dan pencitraan negara di dunia internasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar