PERBANDINGAN
BUDAYA?
BUDAYA
INDONESIA ?
BUDAYA
JEPANG?
OBSESI
‘BUDAYA’ PADA STUDI JEPANG DI INDONESIA ,
AKHIR
1960-AN – SEKARANG, MENGAPA?
Dr. Susy Ong
Dr. Susy Ong
kajianjepang@gmail.com
Ⅰ.
‘Budaya’
dalam konteks perjalanan sejarah Indonesia abad XX
Awal abad
ke-20: pengaruh pengajaran Barat modern, kesadaran akan ‘tradisi’ yang bersifat
feodal dan menghambat kemajuan.
Gerakan Djawa
Dipa (Surabaya, 1914): anti budaya feodal Jawa, seruan agar menghapus
penggunaan Bahasa Jawa yang mengukuhkan stratatifikasi dalam masyarakat Jawa.
1935 polemik budaya
Sutan
Takdir Alisyahbana (STA) vs. Sanusi
Pane dan Armijn Pane
Arah
pengembangan budaya Indonesia:
Pemujaan
budaya Barat (STA) vs. mengadopsi budaya Barat yang progresif dan
menghidupkan budaya tradisional yang tidak feudal.
Dampak
pendidikan kolonial Belanda vs. pengaruh Rabindranath
Tagore (pemenang hadiah Nobel Sastra,
1913).
Majalah
Pujangga Baru, 1935 --- artikel-artikel pujian terhadap budaya tradisional
Jepang (Bushido, semangat Jepang, dsb.)
== pengaruh propaganda majalah Cultural Nippon.
1942-1945 Keimin Bunka Shidousho (KBS) --- pengarahan
oleh seniman Jepang terhadap seniman Indonesia, pencerahan kepada publik Indonesia tentang sifat
luhur budaya Timur --- karena secara fisik (persenjataan) jelas tidak dapat
menandingi Barat, maka perlu dikerahkan ‘semangat’= budaya Timur (= anti Barat)
Sanusi
Pane, Takeda Rintarou (Pembina pada KBS)
1950 Surat Kepercayaan Gelanggang
--- budayawan Indonesia sebagai ahli waris budaya dunia – sifat universal.
5-7
Agustus 1950 Konferensi Kebudayaan Indonesia (di Jakarta)
--
definisi budaya Indonesia
Tujuan
konferensi: Mencari dan mempertimbangkan
segala buruk-baik dan untung ruginya hal-hal yang didapati dalam perhubungan
asing dengan kebudayaan nasional.
‘Apakah Kebudajaan dan
Bagaimanakah Hidup Tumbuhnja?’ – Fikiran Rakjat, 4-8-1950
STA: “Sebagai
bangsa yang muda di dunia,
kewajiban kita adalah membuka diri seluas-luasnya terhadap kepada penjelmaan
kebudayaan modern, yaitu berdasarkan keyakinan bahwa dalam hal kebudayaan tidak
ada permusuhan, hanya mungkin ada perkembangan kemanusiaan.
Sumardjo:
“Manusia itu sebagai
orang yang tertentu (orang Indonesia) mengadakan pertukaran nilai-nilai
kemanusiaannya dan ketuhanannya dengan manusia-manusia lainnya. Itu sebabnya
kebudayaan/ kesenian
dinamakan universal dan abadi, tapi juga nasional dan individual. Itu sebabnya
pula kebudayaan senantiasa hidup, sebab berpangkal pada manusia sendiri yang
mesti memenuhi syarat mempunyai rasa dan fikiran yang hidup sebenar-benarnya.
‘Apakah Kebudajaan?’- Fikiran Rakjat, 7-8-1950
Ki
Hadjar Dewantoro: “Kebudayaan
adalah hasil perjuangan manusia, yakni perjuangannya terhadap segala kekuatan
alam yang mengelilinginya, dan segala pengaruh zaman atau masyarakat yang
kedua-duanya – alam dan jaman tersebut – menyebabkan terus-menerus
berganti-gantinya segala bentuk dan isi kebudayaan di dalam hidupnya tiap-tiap
bangsa.
Dalam
pada itu hendaknya diingati, bahwa selalu ada kekuatan-kekuatan, baik di dalam
alam dan zaman maupun di dalam kodrat hidupnya manusia sendiri (a.l. instinct untuk mempertahankan diri) yang
menghambat kemajuan hidup manusia, dan dengan begitu menyebabkan kebekuan atau
kemunduran, bahkan kadang-kadang matinya bagian-bagian daripada kebudayaan.
Untuk
kemajuan hidup tumbuh kebudayaan diperlukan adanya hubungan dengan
kebudayaan-kebudayaan lain, ambillah segala bahan kebudayaan dari luar, yang
dapat memperkembangkan (yakni memajukan) atau memperkaya (yakni menambah)
kebudayaan sendiri.”
Akhir
1950 - Awal 1960-an: Pertarungan politik antara Lekra (PKI) vs. Kelompok
non politik.
Sastra/ Kesenian sebagai alat
pendorong perubahan sosial vs. sastra/ kesenian untuk membebaskan
jiwa manusia.
Kelompok
Manifesto Budaya (tanggapan terhadap manifesto politik Sukarno) – didukung
oleh angkatan darat.
-----------
Lekra (PKI) vs. kelompok Manifes Budaya (angkatan darat)
---- pertarungan politik yang mengatasnamakan budaya === pertarungan politik,perebutan
kekuasaan.
1966
-- perubahan rezim, kemenangan angkatan darat (pendukung kelompok Manifest
Budaya)
atas
PKI (pendukung Lekra).
6-9
Mei 1966 simposium kebangkitan semangat
’66 di Universitas Indonesia
Rosihan
Anwar ‘Kebudajaan adalah Panglima?’ (Berita Yudha, Minggu 3 Juli 1966)
Amrin
Thaib ‘Kebudajaan adalah Ibu’ (Berita
Yudha, 10 Juli 1966)
Periode
Orde Baru: Depolitisasi, ‘menolak
dominasi politik terhadap budaya’, ‘politik = kotor vs. budaya = indah’, budaya kehilangan fungsi sebagai sarana
pendorong perubahan sosial – statis.
-------- Pemahaman
budaya yang statis, ahistoris; baik budaya lokal, nasional maupun luar negeri (misalnya,
budaya Jepang) ===== karakteristik pemahaman ‘budaya’ Orde Baru.
Ⅱ. Persepsi budaya dalam negara dan masyarakat
Jepang modern (pasca Restorasi Meiji)
明治 -- 1868-1912
大正Taishou --
1912-1926
昭和 -- 1926-1989
Awal
Meiji
Bunmei Kaika, pemujaan terhadap budaya / peradaban Eropa
Budaya Barat (maju) Vs budaya tradisional
Jepang (terkebelakang)
Akhir
Meiji
Muncul
kelompok intelektual yang meng-kritik kebijakan Westernisasi, menuduh kebijakan
tersebut membabi buta dan merugikan rakyat Jepang – Natsume Souseki
Era Taishou (1912-1926.12.25)
Kritik terhadap militerisme (gunkoku shugi)era
Meiji --- Taishou Bunka Shugi
Militerisme Vs bunka (budaya)== dominasi
budaya sipil terhadap militer
Kulturwissenschaft – bunka kagaku (c.f. shizen
kagaku (ilmu alam), shakai kagaku (ilmu sosial))
Bunka seikatsu, bunka juutaku – rumah tinggal
dan gaya hidup
yang modern, praktis, ilmiah
(Vs gaya
hidup tradisional Jepang yang tidak praktis)
Awal Shouwa --- akhir 1920an, ideologi dan
gerakan sosialisme sbg trend global; reaksi dari pemerintah dan kaum
konservatif: rekayasa / meng-konstruksi budaya tradisional Jepang
Watsuji
Tetsurou, “Fuudou” (terbit tahun 1929), menyangkal keabsahan sosialisme di
Jepang, dengan argumen bahwa sosialisme tumbuh di alam Eropa, yang mana kondisi
alamnya sama sekali berbeda dengan Jepang.
Nakayama
Tadanao, “nihonjin no erasa no kenkyuu’
(studi tentang kehebatan orang Jepang):
Meiji
sebagai jaman pengaguman budaya Barat, Taishou sebagai jaman kritik terhadap
budaya Barat, Shouwa sebagai jaman pembangunan peradaban Jepang baru.”
Resesi
awal Shouwa === penolakan terhadap demokrasi borjuis dan parpol, dukungan
terhadap ekspansi militer dengan harapan masalah ekonomi domestik segera
teratasi.
1931 Insiden
Manchuria, Mei 1932 Kudeta
militer.
1933 Jepang mengundurkan diri dari Liga
Bangsa-bangsa, sebagai protes terhadap tuduhan dunia Barat terhadap Jepang
terkait insiden Manchuria.
---
friksi Jepang vs. Barat --- budaya Barat vs. Timur
1934 berdiri Kokusai Bunka Shinkoukai – lembaga
promosi budaya internasional, tujuan: memperkenalkan budaya tradisional Jepang
ke negara-negara lain, agar negara-negara lain memahami Jepang, sehingga tidak
memusuhi Jepang
-------
pengaruh pada angkatan Pujangga Baru?
1937 Sino – Japan war ----- kepentingan ekonomi
negara-negara Barat di daratan Cina terusik, menimbulkan sentimen anti Jepang di dunia Barat.
Pemerintah
Jepang gagal membujuk militer untuk menarik
pasukan dari Cina, bentrok dengan dunia Barat tak terhindarkan.
1938.11.3. P.M. Konoe Fumimaro umumkan New
Order in Greater East Asia
=====
meniru Neue Ordnung (new order) ala
Nazi Jerman, sebagai bentuk penolakan terhadap tatanan internasional perjanjian
Versailles
(yang sangat merugikan Jerman)
======
pembentukan blok ekonomi, politik dan budaya‘Asia’ (Jepang, Cina, Manchuria),
melawan blok Barat.
この新秩序の建設は日満支三国相携へ、政治、経済、文化等各般に亘り互助連環の関係を樹立するを以て根幹とし、東亜に於ける国際正義の確立、共同防共の達成、新文化の創造、経済結合の実現を期するにあり。是れ実に東亜を安定し、世界の進運に寄与する所以なり。
(Pembangunan
Orde Baru adalah berdasarkan kerjasama Jepang, Manchuokuo dan Cina, membangun
hubungan yang saling terkait di bidang politik, ekonomi, budaya dan sebagainya,
demi mengukuhkan keadilan dunia di wilayah Asia Timur, mencapai tujuan bersama
yang anti komunisme, menciptakan kebudayaan baru, dan kesatuan ekonomi. Ini
adalah untuk memberi kontribusi pada stabilitas Asia Timur dan kemajuan dunia.)
1940.10 Semua
parpol membubarkan diri dan melebur dalam Taisei Yokusankai (Imperial Rule Assistance
Association; Imperial
Aid Association).
Divisi
Budaya: Mengerahkan semua seniman
dan sastrawan agar berkarya mendukung pembentukan budaya baru yang kondusif
bagi kebijakan pembangunan Kawasan Kemakmuran bersama Asia Timur Raya.
Kondisi
perang menyebabkan kekurangan sandang pangan, pemerintah merasa perlu menyerukan kepada rakyat agar
tetap menjaga tradisi budaya Jepang yang adiluhur, yaitu tetap bertingkah laku
pantas walaupun dalam kondisi sulit.
-------
rekayasa dan pemujaan budaya Jepang untuk tujuan militer dan politis.
1945.8.15 Jepang menyerah kepada sekutu.
1945.9 Pasukan
sekutu menduduki Jepang, proses demokratisasi dan demiliterisasi.
-------
penjungkirbalikan nilai.
Pasukan
negara dibubarkan, militerisme dikecam.
Militerisme
vs. Budaya
Konstitusi
baru (disahkan November
1946, mulai berlaku 3 Mei 1947):
Pasal
25: All people shall have the right to maintain the minimum standards of
wholesome and cultured living.
(すべて国民は、健康で文化的な最低限度の生活を営む権利を有する。)
Bebas
dari ketakutan dan kemiskinan, menjalani kehidupan yang manusiawi.
1947.6.2 Pidato
Perdana Menteri Katayama Tetsu (judul pidato: “Seruan Kepada Seluruh Rakyat Jepang”)
Tujuan
pemerintah: Membangun
negara yang berbudaya.
The
construction of a culture state in order to restore national pride and
international recognition.
「私は、国民諸君に対し、民主主義平和国家、文化国家の国民としての精神革命を要望するものである。
われわれ国民が過去の封建的、軍国主義的な考え方から完全に脱皮して、真に民主主義、平和主義に徹するよう、自らの人生観の中に一つの革命を遂行することが必要であると考える。歴史の示すルネサンスや宗教改革に相当するような一つの精神革命の段階を経過することによって、われわれ日本国民は、真に民主主義的な、文化的な国民として成長することができるのである。」
(Saya
mengharapkan agar rakyat Jepang menjalani revolusi mental sebagai warganegara
dari negara yang demokratis, damai dan berbudaya.
Saya
berpikir, bahwa jika rakyat ingin melepaskan diri dari pola berpikir yang feudal
dan militeristik di masa lalu, dan berpegang teguh demokrasi dan paham
perdamaian, maka perlu menjalani suatu revolusi dalam aspek pandangan hidup. Dengan
menjalani tahap revolusi mental yang setaraf dengan Renaissance atau reformasi
agama, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah, maka kita warganegara Jepang
akan dapat tumbuh sebagai warganegara
yang demokrasi dan berbudaya dalam arti yang sesungguhnya.)
------
budaya = damai = tidak ada perang
(c.f.
slogan pada periode 1937-1945: peran militer Jepang dalam menjaga perdamaian di
Asia )
1948.11.3 Hari
disahkannya konstitusi Jepang (tanggal 3 November 1946; konstitusi tersebut
dianggap sebagai konstitusi yang menekankan perdamaian dan budaya) ditetapkan
sebagai Hari Budaya (bunka no hi),
sebagai pernyataan sikap dan tekad bangsa Jepang untuk memulai hidup yang
berbudaya (tidak militeristik).
3
November adalah hari
ulang tahun Kaisar Meiji. Sampai dengan tahun 1912, hari tersebut
dirayakan sebagai Tenchousetsu (HUT Kaisar). Tahun 1927, tanggal tersebut
kembali ditetapkan sebagai hari raya, yaitu Meijisetsu (hari raya Meiji), guna
meningkatkan rasa nasionalisme rakyat Jepang.
1937,
Meijisetsu dijadikan hari penganugrahan tanda jasa kepada rakyat yang telah
berjasa bagi negara.
Kebijakan Budaya (culture policy) Kementerian
Luar Negeri (Kemlu) Jepang
1950-an Kegiatan
pengenalan budaya tradisional Jepang di AS.
1960-an Seiring
dengan pertumbuhan ekonomi tingkat tinggi dan meningkatnya prestise Jepang di
dunia internasional, muncul desakan dari masyarakat Jepang untuk mengimbangi
superioritas ekonomi dengan pengakuan budaya di dunia internasional.
1968 (tahun Meiji ke-100)
didirikan Agency for Cultural Affairs di Kemlu Jepang.
1971,1972 Nixon shock ----- Jepang merasa dikucilkan.
Sentimen
anti Jepang karena tampilnya Jepang sebagai raksasa ekonomi dunia.
1972 Japan Foundation didirikan, fokus pada
pengenalan budaya Jepang di AS.
1974 Demonstrasi
anti Jepang (ketika kunjungan PM Jepang) di Indonesia dan Thailand, bantuan dialihkan ke Asia Tenggara,
pengenalan kebudayaan Jepang dan pemberian beasiswa untuk studi ke Jepang.
1980-an Booming
bahasa Jepang di seluruh dunia, peran Japan Foundation.
Tujuan:
memberi kesempatan kepada semakin banyak warga asing untuk mengenal bahasa
Jepang, mengenal Jepang, dan meredakan sentimen anti Jepang.
2000- Bangkitnya
RRC sebagai kekuatan ekonomi Asia dan menarik perhatian dunia; Jepang mengalami
resesi, sehingga daya tarik bagi negara lain menurun.
Cara
men-siasati: promosi pop culture, anime,
manga.
2004: Restrukturisasi organisasi dalam Kemlu
Jepang, dibentuk Public Diplomacy Department, mencontoh model ‘Cool Britania Policy’ ala Tony Blair ---- menjadi Cool Japan.
Kebijakan:
dealing with culture more strategically
as a diplomatic resource.
Pasca
2001 perhatian dan bantuan kepada wilayah Timur Tengah --- menarik simpatik warga Timur Tengah.
Budaya digerakkan oleh kebijakan, dan
kebijakan bersifat politis.
Faktor penyebab kuatnya obsesi ‘budaya’ pada studi Jepang di
Indonesia:
kondisi awal pembentukan obsesi
‘budaya”:
Indonesia --- awal era orde baru,
depolitisasi (stigmatisasi konsep politik), konsep budaya direkayasa menjadi
konsep tandingan dari politik, mencari-cari (merekayasa) persepsi ‘budaya’ yang
luhur; menghilangkan konteks pada pembahasan / pemahaman budaya --
Jepang --- mulai implementasi
kebijakan luar negeri ‘promosi ‘budaya Jepang’’, mendirikan lembaga JF, dana
& proyek ‘pertukaran budaya’ --- dengan saling memahami budaya lain,
diharapkan rasa antipati akibat konflik kepentingan dapat diminimalisir.
Interest
group, vested interest, status quo, sampai kapan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar