Kamis, 17 Mei 2012

OBSESI ‘BUDAYA’ PADA STUDI JEPANG DI INDONESIA


PERBANDINGAN BUDAYA?
BUDAYA INDONESIA?
BUDAYA JEPANG?

OBSESI ‘BUDAYA’ PADA STUDI JEPANG DI INDONESIA,
AKHIR 1960-AN – SEKARANG, MENGAPA?


Dr. Susy Ong
kajianjepang@gmail.com

. Budaya dalam konteks perjalanan sejarah Indonesia abad XX

Awal abad ke-20: pengaruh pengajaran Barat modern, kesadaran akan ‘tradisi’ yang bersifat feodal dan menghambat kemajuan.
Gerakan Djawa Dipa (Surabaya, 1914): anti budaya feodal Jawa, seruan agar menghapus penggunaan Bahasa Jawa yang mengukuhkan stratatifikasi dalam masyarakat Jawa.

1935    polemik budaya
Sutan Takdir Alisyahbana (STA)  vs. Sanusi Pane dan Armijn Pane
Arah pengembangan budaya Indonesia: Pemujaan budaya Barat (STA) vs. mengadopsi budaya Barat yang progresif dan menghidupkan budaya tradisional yang tidak feudal.
Dampak pendidikan kolonial Belanda vs. pengaruh Rabindranath Tagore (pemenang hadiah Nobel Sastra, 1913).
Majalah Pujangga Baru, 1935 --- artikel-artikel pujian terhadap budaya tradisional Jepang (Bushido, semangat Jepang, dsb.) == pengaruh propaganda majalah Cultural Nippon.

1942-1945    Keimin Bunka Shidousho (KBS) --- pengarahan oleh seniman Jepang terhadap seniman Indonesia, pencerahan kepada publik Indonesia tentang sifat luhur budaya Timur --- karena secara fisik (persenjataan) jelas tidak dapat menandingi Barat, maka perlu dikerahkan ‘semangat’= budaya Timur (= anti Barat)
Sanusi Pane, Takeda Rintarou (Pembina pada KBS)
1950        Surat Kepercayaan Gelanggang --- budayawan Indonesia sebagai ahli waris budaya dunia – sifat universal.

5-7 Agustus 1950  Konferensi Kebudayaan Indonesia (di Jakarta)
-- definisi budaya Indonesia
Tujuan konferensi: Mencari dan mempertimbangkan segala buruk-baik dan untung ruginya hal-hal yang didapati dalam perhubungan asing dengan kebudayaan nasional.

Apakah Kebudajaan dan Bagaimanakah Hidup Tumbuhnja?’ – Fikiran Rakjat, 4-8-1950
STA:  “Sebagai bangsa yang muda di dunia, kewajiban kita adalah membuka diri seluas-luasnya terhadap kepada penjelmaan kebudayaan modern, yaitu berdasarkan keyakinan bahwa dalam hal kebudayaan tidak ada permusuhan, hanya mungkin ada perkembangan kemanusiaan.

Sumardjo: “Manusia itu sebagai orang yang tertentu (orang Indonesia) mengadakan pertukaran nilai-nilai kemanusiaannya dan ketuhanannya dengan manusia-manusia lainnya. Itu sebabnya kebudayaan/ kesenian dinamakan universal dan abadi, tapi juga nasional dan individual. Itu sebabnya pula kebudayaan senantiasa hidup, sebab berpangkal pada manusia sendiri yang mesti memenuhi syarat mempunyai rasa dan fikiran yang hidup sebenar-benarnya.

Apakah Kebudajaan?’-  Fikiran Rakjat, 7-8-1950
Ki Hadjar Dewantoro: “Kebudayaan adalah hasil perjuangan manusia, yakni perjuangannya terhadap segala kekuatan alam yang mengelilinginya, dan segala pengaruh zaman atau masyarakat yang kedua-duanya – alam dan jaman tersebut – menyebabkan terus-menerus berganti-gantinya segala bentuk dan isi kebudayaan di dalam hidupnya tiap-tiap bangsa.
Dalam pada itu hendaknya diingati, bahwa selalu ada kekuatan-kekuatan, baik di dalam alam dan zaman maupun di dalam kodrat hidupnya manusia sendiri (a.l. instinct untuk mempertahankan diri) yang menghambat kemajuan hidup manusia, dan dengan begitu menyebabkan kebekuan atau kemunduran, bahkan kadang-kadang matinya bagian-bagian daripada kebudayaan.
Untuk kemajuan hidup tumbuh kebudayaan diperlukan adanya hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan lain, ambillah segala bahan kebudayaan dari luar, yang dapat memperkembangkan (yakni memajukan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan sendiri.”

Akhir 1950 - Awal 1960-an: Pertarungan politik antara Lekra (PKI) vs. Kelompok non politik.
Sastra/ Kesenian sebagai alat pendorong perubahan sosial vs. sastra/ kesenian untuk membebaskan jiwa manusia.

Kelompok Manifesto Budaya (tanggapan terhadap manifesto politik Sukarno) – didukung oleh angkatan darat.
----------- Lekra (PKI) vs. kelompok Manifes Budaya (angkatan darat) ---- pertarungan politik yang mengatasnamakan budaya === pertarungan politikperebutan kekuasaan.

1966 -- perubahan rezim, kemenangan angkatan darat (pendukung kelompok Manifest Budaya) atas PKI (pendukung Lekra).
6-9 Mei 1966   simposium kebangkitan semangat ’66 di Universitas Indonesia
Rosihan Anwar ‘Kebudajaan adalah Panglima?’ (Berita Yudha, Minggu 3 Juli 1966)
Amrin Thaib    ‘Kebudajaan adalah Ibu’ (Berita Yudha, 10 Juli 1966)

Periode Orde Baru: Depolitisasi, ‘menolak dominasi politik terhadap budaya’, ‘politik = kotor vs. budaya = indah’, budaya kehilangan fungsi sebagai sarana pendorong perubahan sosial – statis.
-------- Pemahaman budaya yang statis, ahistoris; baik budaya lokal, nasional maupun luar negeri (misalnya, budaya Jepang) ===== karakteristik pemahaman ‘budaya’ Orde Baru.


.  Persepsi budaya dalam negara dan masyarakat Jepang modern (pasca Restorasi Meiji)
明治(めいじ)      -- 1868-1912
大正(たいしょう)Taishou    -- 1912-1926
昭和(しょうわ) -- 1926-1989

Awal Meiji
 Bunmei Kaika, pemujaan terhadap budaya / peradaban Eropa
 Budaya Barat (maju) Vs budaya tradisional Jepang (terkebelakang)

Akhir Meiji
Muncul kelompok intelektual yang meng-kritik kebijakan Westernisasi, menuduh kebijakan tersebut membabi buta dan merugikan rakyat Jepang – Natsume Souseki

Era Taishou (1912-1926.12.25)
 Kritik terhadap militerisme (gunkoku shugi)era Meiji --- Taishou Bunka Shugi
 Militerisme Vs bunka (budaya)== dominasi budaya sipil terhadap militer
 Kulturwissenschaft – bunka kagaku (c.f. shizen kagaku (ilmu alam), shakai kagaku (ilmu sosial))
 Bunka seikatsu, bunka juutaku – rumah tinggal dan gaya hidup yang modern, praktis, ilmiah
 (Vs gaya hidup tradisional Jepang yang tidak praktis)

 Awal Shouwa --- akhir 1920an, ideologi dan gerakan sosialisme sbg trend global; reaksi dari pemerintah dan kaum konservatif: rekayasa / meng-konstruksi budaya tradisional Jepang

Watsuji Tetsurou, “Fuudou” (terbit tahun 1929), menyangkal keabsahan sosialisme di Jepang, dengan argumen bahwa sosialisme tumbuh di alam Eropa, yang mana kondisi alamnya sama sekali berbeda dengan Jepang.

Nakayama Tadanao, “nihonjin no erasa no kenkyuu’ (studi tentang kehebatan orang Jepang):
Meiji sebagai jaman pengaguman budaya Barat, Taishou sebagai jaman kritik terhadap budaya Barat, Shouwa sebagai jaman pembangunan peradaban Jepang baru.”

Resesi awal Shouwa === penolakan terhadap demokrasi borjuis dan parpol, dukungan terhadap ekspansi militer dengan harapan masalah ekonomi domestik segera teratasi.
1931    Insiden Manchuria, Mei 1932 Kudeta militer.
1933  Jepang mengundurkan diri dari Liga Bangsa-bangsa, sebagai protes terhadap tuduhan dunia Barat terhadap Jepang terkait insiden Manchuria.
--- friksi Jepang vs. Barat --- budaya Barat vs. Timur

1934  berdiri Kokusai Bunka Shinkoukai – lembaga promosi budaya internasional, tujuan: memperkenalkan budaya tradisional Jepang ke negara-negara lain, agar negara-negara lain memahami Jepang, sehingga tidak memusuhi Jepang
------- pengaruh pada angkatan Pujangga Baru?

1937  Sino – Japan war ----- kepentingan ekonomi negara-negara Barat di daratan Cina terusik, menimbulkan sentimen anti Jepang di dunia Barat.
Pemerintah Jepang gagal membujuk militer untuk menarik pasukan dari Cina, bentrok dengan dunia Barat tak terhindarkan.

1938.11.3.    P.M. Konoe Fumimaro umumkan New Order in Greater East Asia
===== meniru Neue Ordnung (new order) ala Nazi Jerman, sebagai bentuk penolakan terhadap tatanan internasional perjanjian Versailles (yang sangat merugikan Jerman)
====== pembentukan blok ekonomi, politik dan budaya‘Asia’ (Jepang, Cina, Manchuria), melawan blok Barat.

この新秩序(しんちつじょ)建設(けんせつ)日満支三国相携(にちまんしさんこくあいたずさ)へ、政治(せいじ)経済(けいざい)文化等各般(ぶんかなどかくはん)(わた)互助連環(ごじょれんかん)関係(かんけい)樹立(じゅりつ)するを(もっ)根幹(こんかん)とし、東亜(とうあ)()ける国際正義(こくさいせいぎ)確立(かくりつ)共同防共(きょうどうぼうきょう)達成(たっせい)新文化(しんぶんか)創造(そうぞう)経済結合(けいざいけつごう)実現(じつげん)()するにあり。(これ)(じつ)東亜(とうあ)安定(あんてい)し、世界(せかい)進運(しんうん)寄与(きよ)する所以(ゆえん)なり。

(Pembangunan Orde Baru adalah berdasarkan kerjasama Jepang, Manchuokuo dan Cina, membangun hubungan yang saling terkait di bidang politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, demi mengukuhkan keadilan dunia di wilayah Asia Timur, mencapai tujuan bersama yang anti komunisme, menciptakan kebudayaan baru, dan kesatuan ekonomi. Ini adalah untuk memberi kontribusi pada stabilitas Asia Timur dan kemajuan dunia.)

1940.10   Semua parpol membubarkan diri dan melebur dalam Taisei Yokusankai (Imperial Rule Assistance Association; Imperial Aid Association).
Divisi Budaya: Mengerahkan semua seniman dan sastrawan agar berkarya mendukung pembentukan budaya baru yang kondusif bagi kebijakan pembangunan Kawasan Kemakmuran bersama Asia Timur Raya.

Kondisi perang menyebabkan kekurangan sandang pangan, pemerintah  merasa perlu menyerukan kepada rakyat agar tetap menjaga tradisi budaya Jepang yang adiluhur, yaitu tetap bertingkah laku pantas walaupun dalam kondisi sulit.
------- rekayasa dan pemujaan budaya Jepang untuk tujuan militer dan politis.

1945.8.15  Jepang menyerah kepada sekutu.
1945.9  Pasukan sekutu menduduki Jepang, proses demokratisasi dan demiliterisasi.
------- penjungkirbalikan nilai.
Pasukan negara dibubarkan, militerisme dikecam.
Militerisme vs. Budaya

Konstitusi baru (disahkan November 1946, mulai berlaku 3 Mei 1947):
Pasal 25: All people shall have the right to maintain the minimum standards of wholesome and cultured living.
(すべて国民(こくみん)は、健康(けんこう)文化的(ぶんかてき)最低限度(さいていげんど)生活(せいかつ)(いとな)権利(けんり)(ゆう)する。)
Bebas dari ketakutan dan kemiskinan, menjalani kehidupan yang manusiawi.

1947.6.2    Pidato Perdana Menteri Katayama Tetsu (judul pidato: “Seruan Kepada Seluruh Rakyat Jepang”)
Tujuan pemerintah: Membangun negara yang berbudaya.
The construction of a culture state in order to restore national pride and international recognition.

(わたし)は、国民諸君(こくみんしょくん)(たい)し、民主主義平和国家(みんしゅしゅぎへいわこっか)文化国家(ぶんかこっか)国民(こくみん)としての精神革命(せいしんかくめい)要望(ようぼう)するものである。
われわれ国民(こくみん)過去(かこ)封建的(ほうけんてき)軍国主義的(ぐんこくしゅぎてき)(かんが)(かた)から完全(かんぜん)脱皮(だっぴ)して、(しん)民主主義(みんしゅしゅぎ)平和主義(へいわしゅぎ)(てっ)するよう、(みずか)らの人生観(じんせいかん)(なか)(ひと)つの革命(かくめい)遂行(すいこう)することが必要(ひつよう)であると(かんが)える。歴史(れきし)(しめ)すルネサンスや宗教改革(しゅうきょうかいかく)相当(そうとう)するような(ひと)つの精神革命(せいしんかくめい)段階(だんかい)経過(けいか)することによって、われわれ日本国民(にほんこくみん)は、(しん)民主主義的(みんしゅしゅぎてき)な、文化的(ぶんかてき)国民(こくみん)として成長(せいちょう)することができるのである。」

(Saya mengharapkan agar rakyat Jepang menjalani revolusi mental sebagai warganegara dari negara yang demokratis, damai dan berbudaya.
Saya berpikir, bahwa jika rakyat ingin melepaskan diri dari pola berpikir yang feudal dan militeristik di masa lalu, dan berpegang teguh demokrasi dan paham perdamaian, maka perlu menjalani suatu revolusi dalam aspek pandangan hidup. Dengan menjalani tahap revolusi mental yang setaraf dengan Renaissance atau reformasi agama, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah, maka kita warganegara Jepang akan dapat tumbuh sebagai warganegara yang demokrasi dan berbudaya dalam arti yang sesungguhnya.)

------ budaya = damai = tidak ada perang
(c.f. slogan pada periode 1937-1945: peran militer Jepang dalam menjaga perdamaian di Asia)

1948.11.3  Hari disahkannya konstitusi Jepang (tanggal 3 November 1946; konstitusi tersebut dianggap sebagai konstitusi yang menekankan perdamaian dan budaya) ditetapkan sebagai Hari Budaya (bunka no hi), sebagai pernyataan sikap dan tekad bangsa Jepang untuk memulai hidup yang berbudaya (tidak militeristik).

3 November adalah hari ulang tahun Kaisar Meiji. Sampai dengan tahun 1912, hari tersebut dirayakan sebagai Tenchousetsu (HUT Kaisar). Tahun 1927, tanggal tersebut kembali ditetapkan sebagai hari raya, yaitu Meijisetsu (hari raya Meiji), guna meningkatkan rasa nasionalisme rakyat Jepang.
1937, Meijisetsu dijadikan hari penganugrahan tanda jasa kepada rakyat yang telah berjasa bagi negara.


Kebijakan Budaya (culture policy) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Jepang

1950-an     Kegiatan pengenalan budaya tradisional Jepang di AS.
1960-an   Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tingkat tinggi dan meningkatnya prestise Jepang di dunia internasional, muncul desakan dari masyarakat Jepang untuk mengimbangi superioritas ekonomi dengan pengakuan budaya di dunia internasional.

1968 (tahun Meiji ke-100) didirikan Agency for Cultural Affairs di Kemlu Jepang.
1971,1972  Nixon shock ----- Jepang merasa dikucilkan.
Sentimen anti Jepang karena tampilnya Jepang sebagai raksasa ekonomi dunia.

1972    Japan Foundation didirikan, fokus pada pengenalan budaya Jepang di AS.
1974  Demonstrasi anti Jepang (ketika kunjungan PM Jepang) di Indonesia dan Thailand,  bantuan dialihkan ke Asia Tenggara, pengenalan kebudayaan Jepang dan pemberian beasiswa untuk studi ke Jepang.

1980-an    Booming bahasa Jepang di seluruh dunia, peran Japan Foundation.
Tujuan: memberi kesempatan kepada semakin banyak warga asing untuk mengenal bahasa Jepang, mengenal Jepang, dan meredakan sentimen anti Jepang.

2000-   Bangkitnya RRC sebagai kekuatan ekonomi Asia dan menarik perhatian dunia; Jepang mengalami resesi, sehingga daya tarik bagi negara lain menurun.
Cara men-siasati: promosi pop culture, anime, manga.

2004: Restrukturisasi organisasi dalam Kemlu Jepang, dibentuk Public Diplomacy Department, mencontoh model ‘Cool Britania Policy’ ala Tony Blair ---- menjadi Cool Japan.
Kebijakan: dealing with culture more strategically as a diplomatic resource.

Pasca 2001 perhatian dan bantuan kepada wilayah Timur Tengah --- menarik simpatik warga Timur Tengah.


Budaya digerakkan oleh kebijakan, dan kebijakan bersifat politis.

Faktor penyebab kuatnya  obsesi ‘budaya’ pada studi Jepang di Indonesia:
kondisi awal pembentukan obsesi ‘budaya”:

Indonesia --- awal era orde baru, depolitisasi (stigmatisasi konsep politik), konsep budaya direkayasa menjadi konsep tandingan dari politik, mencari-cari (merekayasa) persepsi ‘budaya’ yang luhur; menghilangkan konteks pada pembahasan / pemahaman budaya --

Jepang --- mulai implementasi kebijakan luar negeri ‘promosi ‘budaya Jepang’’, mendirikan lembaga JF, dana & proyek ‘pertukaran budaya’ --- dengan saling memahami budaya lain, diharapkan rasa antipati akibat konflik kepentingan dapat diminimalisir.

Interest group, vested interest, status quo, sampai kapan?







Tidak ada komentar:

Posting Komentar