Jumat, 11 Mei 2012

Sejarah Jepang 2. Shokuhou Tokugawa

oleh: Dr. Susy Ong

Pada tahun 1467, yaitu  pada masa pemerintahan shogun ke-8 dari klan Ashikaga, Ashikaga Yoshimasa, terjadi huru hara Ounin. Huru hara ini berlangsung selama 11 tahun, dan meluluh-lantahkan kota Kyoto (ibu kota). Sejak itu, wibawa klan Ashikaga terhadap para penguasa lokal mulai runtuh. Para penguasa lokal mulai membangkang terhadap pemerintah pusat, dan di dalam lembaga kekuasaan lokal pun muncul fenomena di mana para bawahan membangkang terhadap atasan. Tatanan dan nilai-nilai sosial runtuh. Kondisi ini berlangsung sampai dengan tahun 1573, ketika Oda Nobunaga berhasil mempersatukan Jepang dan mengusir shogun Muromachi ke-15, Ashikaga Yoshiaki, dari Kyoto.


Periode selama kira-kira 1 abad ini, dikenal sebagai jaman Sengoku (warring state). Pemberian nama ini dilakukan oleh para bangsawan istana di Kyoto, dengan meminjam istilah yang digunakan di Cina untuk menyebut jaman warring state pada abad ke-8 s/d abad ke-3 --- jaman meritocracy
Dari <to be or not to be> menjadi  <to do or not to do>.

Kondisi sosial ekonomi di era Sengoku:
Era Sengoku adalah era desentralisasi, masing-masing wilayah dikuasai oleh penguasa lokal. Tingginya frekuensi pertikaian antara wilayah menuntut para penguasa untuk memantapkan basis ekonomi. Karena itu, para penguasa lokal berusaha keras memajukan pertanian, kerajinan tangan dan perdagangan, agar dapat memperoleh pemasukan pajak yang memadai untuk membiayai pasukan dalam mempertahankan wilayah kekuasaannya.

Datangnya orang Eropa ke Jepang
1453, Konstantinople jatuh ke tangan kekaisaran Osman Turki, jalur perdagangan Eropa dengan dunia Timur (Asia), yaitu perairan laut Mediterania, terputus. Ini mendorong penguasa Portugis dan Spanyol untuk mencari jalur perdagangan baru ke dunia Timur, yaitu lewat ujung selatan benua Afrika.


Pada waktu yang hampir bersamaan, terjadi gerakan Protestan di Eropa, yang mengancam wibawa Vatican. Muncul ordo Katolik yang gigih menentang gerakan Protestan, terutama Serikat Jesus (S.J.) dari Spanyol. Selain membendung kekuatan Protestan di daratan Eropa, gereja Katolik juga mulai menyebarluaskan ajaran agama ke luar daratan Eropa.


1493, Paus Alexander VI (kelahiran Spanyol) mengeluarkan surat resmi pernyataan Paus berjudul Inter caetera, memberi wewenang penguasaan wilayah sebelah barat dan selatan Cape Verde Islands (di lepas pantai barat benua Afrika) kepada Spanyol, dan wilayah sebelah timur kepada Portugis.


1494, perjanjian Tordesillas (Treaty of Tordesillas) ditandatangani oleh Spanyol dan Portugis --- pembagian wilayah kekuasaan di luar daratan Eropa.

Mulailah jaman yang dikenal sebagai <the Era of Great Voyages>: 3G, glory, gospel, gold
1543, 2 orang Portugis menumpang kapal Ming (Cina) mendarat di pulau Tanegashima, membawa senjata api untuk dipersembahkan ke penguasa di Tanegashima, dengan tujuan memperoleh izin berdagang dan menyebarkan agama Katolik.

Kesempatan berdagang dengan pihak Portugis serta komoditas dari pedagang Portugis disambut dengan antusias oleh para penguasa lokal di pulau Kyushu. Sampai dengan awal abad ke-17, sejumlah penguasa lokal (daimyo) di Kyushu menjadi pemeluk agama Katolik (kirishitan daimyo).


Teknologi pembuatan senapan api juga menyebar ke berbagai daerah di Jepang. Salah seorang penguasa lokal di bagian tengah pulau Honshu, yaitu Oda Nobunaga, berhasil memanfaatkan senapan api dari orang-orang Portugis untuk memperkuat pasukannya, menaklukkan penguasa lokal lain, dan mempersatukan Jepang.


Tahun 1573, Nobunaga berhasil mengusir shogun Ashikaga dari Kyoto, dan memproklamirkan diri sebagai penguasa Jepang.


Kebijakan ekonomi Oda Nobunaga: selain memastikan pemasukan pajak dari sektor pertanian, ia membangun kota, memberi jaminan keamanan kepada para pedagang dan pengrajin, sehingga tumbuh sentra-sentra kerajinan tangan dan perdagangan di berbagai daerah. Selain itu, ia menghapus sistem check point antar wilayah, sehingga para pedagang memperoleh pangsa pasar yang lebih besar.


Dalam kampanye militer untuk mempersatukan Jepang, musuh yang dihadapi Nobunaga termasuk kekuatan religi (Budha). Nobunaga tanpa segan-segan merampas perkebunan (properti) milik para pendeta Budha, bahkan membakar kuil Budha dan membunuh para pendeta. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa para pendeta tersebut hidupnya sudah menyimpang dari ajaran Budha (sesat), sehingga perlu dibasmi.


Nobunaga bersikap memusuhi kekuatan agama Budha, karena menganggapnya sebagai kekuatan yang menghalangi usahanya dalam mempersatukan Jepang. Sebaliknya, ia menganggap orang-orang Portugis mendatangkan manfaat, melalui perdagangan.


Ini merupakan sikap pragmatis yang menempatkan kekuasaan politik dan basis ekonomi (tujuan sekuler) di atas pertimbangan agama --- syarat bagi penguasa, meng-subordinasikan kekuatan agama di bawah kekuasaan negara


Tahun 1582, Nobunaga bunuh diri akibat dikhianati oleh bawahannya, Akechi Mitsuhide.
Setelah kematian Nobunaga, salah seorang pengikutnya yang setia, Toyotomi Hideyoshi, berhasil mengalahkan para pesaingnya (termasuk Tokugawa Ieyasu), dan menjadi pewaris kekuasaan yang dibangun oleh Nobunaga.

Masa kekuasaan Toyotomi Hideyoshi (1585 – 1603)
1. kebijakan luar negeri: serangan ke Korea
Setelah berhasil menjadi penguasa negeri Jepang, pada tahun 1592, 1593 dan 1597, dengan cadangan senapan api dalam jumlah besar, Hideyoshi mengerahkan pasukan untuk menyerang semenanjung Korea (dinasti Lee), karena berambisi menjadikan Korea sebagai batu loncatan untuk menguasai daratan Cina (dinasti Ming). Pada serangan tahun 1592, sebagai warga Korea yang tidak puas pada pemerintah, mendukung serangan Hideyoshi, sehingga pasukan Jepang berhasil menduduki Seoul dan Pyongyang. Namun berhasil dipukul mundur.


Pada serangan tahun 1593, pasukan Korea mendapat bantuan dari pasukan Cina. Kedua belah pihak menderita kerugian besar dan kekurangan logistik, sehingga sepakat untuk menghentikan pertikaian.
Pada tahun 1597, pasukan Hideyoshi kembali menyerang Korea. Namun, sebelum pertempuran berakhir, Hideyoshi meninggal dunia, sehingga pasukan Jepang ditarik mundur.


2. mengizinkan perdagangan dengan orang-orang Portugis, namun memerintahkan untuk mengusir para pastor, alasannya adalah atas nama larangan penyembahan berhala, para pastor dan umat Katolik Jepang merusak kuil-kuil dan patung-patung Budha; namun alasan sesungguhnya adalah ketakutan akan pihak-pihak yang tidak puas pada pemerintahan Hideyoshi bersatu dan membangkang atas dasar kesamaan agama.

3. kebijakan dalam negeri
  1. pengukuran lahan dan kesuburan tanah untuk menetapkan jumlah pajak – basis ekonomi
  2. menyeragamkan sistem ukuran (panjang, volume)guna memajukan dan memperlancar perdagangan antar daerah – terbentuk pasar domestik Jepang
  3. menyita pedang dari para petani – pemisahan fungsi petani dan bushi, memaksa petani mentaati aturan pajak tanah yang dipaksakan oleh penguasa

Tahun 1603, Tokugawa Ieyasu mendapatkan gelar Sei I Daishogun (jenderal penakluk suku barbar) dari kaisar, dan resmi menjadi penguasa negeri Jepang. Untuk menghindari serangan dari para pengikut setia Hideyoshi, Ieyasu memindahkan pusat kekuasaan ke Edo.


Ieyasu menerapkan kebijakan yang permisif terhadap orang Portugis dan agama Katolik. Pada tahun 1612 dan 1613, pernah dikeluarkan perintah pelarangan agama Katolik, namun tidak sampai terjadi tindakan penyerangan terhadap umat Katolik.


Pada tahun 1637, pada masa pemerintahan shogun ke-3, Tokugawa Iemitsu, terjadi pemberontakan di pulau Amakusa, pulau kecil di selatan Kyushu. Pemimpin pemberontakan bernama Amakusa Shiro. Penyebab utama adalah ketidakpuasan warga terhadap pajak yang terlalu berat dan bencana kelaparan. Namun karena penguasa lokal dan sebagian besar warga adalah umat Katolik, maka pemberontak tersebut dianggap sebagai pemberontakan oleh kelompok Katolik melawan pemerintah pusat. Setelah peristiwa itu, Iemitsu memutuskan untuk menjalankan politik isolasi, mengusir semua pedagang dan pastor Portugis, serta umat Katolik Jepang yang tidak bersedia pindah agama.


Sistem pemerintahan: desentralisasi, tetapi pemerintah pusat (klan Tokugawa) berwewenang memindahkan penguasa lokal (daimyo) agar tidak bersekongkol dengan rakyat melawan Tokugawa; pemerintah pusat berhak melarang daimyo membangun istana (agar tidak bisa memamerkan kekuatan kepada rakyat) dan memerintahkan daimyo untuk memberi donasi guna proyek konstruksi (untuk memiskinkan daimyo, agar tidak punya dana untuk memberontak); sankin – kotai untuk mencegah daimyo memberontak.
Ideologi: neo-konfusianisme (penerapan strata sosial bushi – petani – artisan – pedagang)


Agama: semua rakyat harus berafiliasi pada salah satu kuil Budha; pendeta kuil Budha berfungsi sebagai alat negara untuk meng-konfirmasi bahwa warga di sekitar kuil tersebut adalah umat Budha, bukan Katolik. Meskipun berfungsi sebagai alat negara, namun kuil Budha tetap memiliki otoritas tersendiri. Jika ada umat yang berlindung di dalam bangunan kuil, aparat negara tidak berhak masuk dan menangkap orang tersebut (kakekomi dera). --- c.f. gereja Katolik di Eropa sebelum revolusi Perancis


Basis ekonomi: pertanian; dalam suasana damai, pertanian dan teknologi pertanian berkembang, produktivitas pertanian meningkat, industri kerajinan tangan dan perdagangan antar daerah berkembang; menetapkan Belanda (VOC) sebagai mitra perdagangan luar negeri, karena orang Belanda berjanji tidak akan melakukan kegiatan penyebaran agama.


Masa damai yang panjang memungkinkan pertanian, kerajinan tangan dan perdagangan berkembang secara konsisten, dan mendorong lahirnya kebudayaan kelas menengah urban dengan kebudayaan dan karya sastra baru yang lebih dinamis dan egaliter --- cikal bakal pop culture?

Jaman Edo (1603-1868):
Awal : s/d awal abad ke-18 (jaman Genroku), kebijakan sakoku (politik isolasi) untuk mencegah pemberontakan oleh penguasa lokal yang bersekongkol dengan kekuatan luar negeri, produktivitas pertanian meningkat pesat, Osaka berkembang menjadi pusat perdagangan nasional.


Pertengahan: penggunaan mata uang sebagai alat tukar mulai masuk ke pedesaan, pertanian mulai beralih dari penanaman padi dan palawija (untuk swasembada pangan dan membayar pajak) ke tanaman untuk diperdagangkan. Pesatnya perkembangan sektor non pertanian mendorong berkembangnya kota. Pada awal abad ke-18, penduduk kota Edo mencapai sekitar 1 juta jiwa, merupakan kota terpadat di dunia. Perdagangan dengan luar negeri (Belanda, Cina dan Korea) juga mendorong perkembangan ekonomi dalam negeri Jepang.


Pesatnya perkembangan ekonomi karena meningkatnya produktivitas, juga menyebabkan kesenjangan sosial dan lahirnya rakyat miskin. Kesenjangan sosial menyebabkan kecemburuan sosial dan memicu konflik sosial. Pemerintahan Tokugawa merespons dengan mengeluarkan anjuran <hidup hemat> dan mengekang aktivitas ekonomi. Setelah gejolak ekonomi mereda, peraturan kembali diperlonggar, dan seterusnya.
Pada masa pemerintahan shogun ke-8, Tokugawa Yoshimune, larangan impor buku non-religi dari Eropa dicabut. Buku-buku bidang kedokteran dan astronomi di-impor dari Belanda, sejumlah intelektual diperintahkan untuk mempelajari ilmu kedokteran dan astronomi Barat (disebut Rangaku, ilmu Belanda).


Tradisi ini terus berlanjut sampai akhir jaman Tokugawa, dan memberi kontribusi bagi proses penyerapan teknologi Barat pasca restorasi Meiji. Peningkatan kegiatan ekonomi melahirkan kebutuhan akan kemampuan baca tulis. Lembaga pendidikan swadaya masyarakat, tera koya, didirikan di seluruh Jepang.


Akhir: peningkatan produktivitas pertanian dan kerajinan tangan serta berkembangnya perdagangan mengakibatkan menguatnya posisi pedagang dan petani kaya vis a vis pejabat (bushi, gaji tetap namun cenderung hidup mewah karena merupakan kelas paling atas dalam masyarakat), sehingga tatanan sosial mulai goyah. Pemerintah pusat berusaha menegakkan kembali wibawa kelas bushi dengan mengeluarkan kebijakan yang melindungi bushi (misalnya, memaksa pedagang menghapus piutang terhadap para bushi); ini menimbulkan rasa antipati pada para pedagang.


Di daerah pedesaan, timbul kesenjangan antara petani yang sukses (berhasil dalam komersialisasi produk pertanian) dan petani yang hidup swasembada. Booming ekonomi menyebabkan indeks harga melonjak dan membebani petani miskin, sehingga di berbagai daerah terjadi kerusuhan (penjarahan oleh para petani miskin).


Tahun 1832, terjadi bencana kelaparan akibat banjir bandang dan cuaca dingin. Di wilayah Jepang utara, yang perekonomiannya tergantung pada penanaman padi, korban mati kelaparan berjatuhan. Pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijaksanaan penanggulangan bencana, namun hasil sangat minim. Ini menimbulkan kemarahan rakyat. Oshio Heihachiro, seorang mantan pejabat di Osaka, memimpin pemberontakan melawan pemerintah. Pemberontakan ini berhasil ditumpas, namun wibawa pemerintah jatuh.
--- kondisi dan kekuatan sosial yang menggoyahkan legitimasi pemerintah, kesamaan dan perbedaan dengan Perancis menjelang revolusi tahun 1789?


Memasuki abad ke-19, negara-negara Eropa dan Amerika Utara mulai mengincar wilayah Asia sebagai pangsa pasar produk industri. Negara industri maju, Inggris dan Perancis, konsentrasi pada usaha perolehan pasar terbesar di Asia, yaitu Cina. Sedangkan negara industri yang masih terkebelakang, AS, mengincar Jepang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar